Thursday, February 9, 2012

Realita Imajinasi Mimpi

Hari ini aku bergumul.
Saat itu aku berada di tengah-tengah orang yang kukenal, namu tidak seberapa dekat. Lalu aku mulai berpikir, menilai segala gerak gerik mereka. Aku tak pernah tahu, siapa di antara mereka yang nyata. Setiap kata yang mereka katakan kepadaku, setiap senyum yang mereka ukir, sorot mata mereka saat menatapku.

Aku tahu, aku seperti berada di tengah kegamangan. Ironis, cukup dramatis. Tapi ini realita. Aku mengamati mereka, satu per satu. Mereka ini orang-orang dewasa, yang umurnya lebih tua dariku. Mereka melakukan hal-hal yang menurutku tidak biasa. Merokok, salah satu hal yang paling kubenci.

Kuubah pandanganku. Baiklah, orang-orang di hadapanku ini orang-orang dewasa. Atau orang-orang yang menganggap dirinya begitu? Atau aku yang terlalu berpikir dengan polos. Mereka ini menghadapi realita. Mengikuti setiap perkembangan jaman. Garam yang mereka rasakan lebih banyak dariku. Pahit manis hidup yang mereka cicipi jauh lebih banyak. Tapi aku tak pernah yakin kalau mereka bermimpi lebih banyak dariku.

Maksudku, coba lihat. Mereka ini menikmati dunia, masuk ke dalam realita dan tak pernah keluar dari garis merah. Menjalani aktivitas yang begitu-begitu saja. Menikmati dunia malam, menghirup asap dari kertas yang berisi tembakau, meminum air yang tampaknya seperti air tapi rasanya aneh untukku.

Pernahkah mereka bermimpi? Atau, masih inginkah mereka bermimpi? Mungkin mereka lupa bagaimana caranya bermimpi? Masih adakah waktu yang mereka sediakan untuk bermimpi?
Masihkah mereka ingat bagaimana caranya berimajinasi? Inginkah mereka kembali ke dalam lamunan mereka sendiri?

Aku ingat dengan jelas, sangat jelas. Aku sangat senang berimajinasi. Aku meninggalkan realita, menatap keluar jendela dengan tatapan kosong, berlari ke alam imajinasi yang berbeda setiap harinya. Aku selalu menemukan ketenangan dan kebahagiaan yang berbeda setiap aku berimajinasi.

Aku selalu menginginkan kastil besar milikku sendiri. Aku mendambakan diriku dalam gaun cantik yang membuat diriku tampak anggun. Aku mengimpikan berlari di atas awan, membuat pesta minum teh di malam hari di atas awan, memetik bintang dan menyimpannya di dalam sebuah kotak.

Aku bermimpi untuk realita juga, terkadang. Aku menggantungkan cita-citaku setinggi mungkin. Dan aku tahu persis, kapan cita-cita itu jatuh dan hancur berkeping-keping. Aku masih mencintai mimpiku, impianku. Kepingan-kepingan ini masih kusimpan, walaupun sebagian kepingan tersebut takkan lagi bersatu.

Aku masih bermimpi dan berimajinasi. Berharap realita ini tidak perlu kuhadapi. Aku benci pada realita. Kalau ditanya kenapa, aku bisa saja menjelaskannya seribu satu malam. Tapi rasanya tak perlu. Aku dapat meringkasnya ke dalam 3-words-sentence.

Realita adalah pembunuh.

No comments:

Post a Comment